Nasehat Pernikahan Maret 24, 2017
Posted by agusdd in science.trackback
Tidak siap, itu yang pertama kali terpikirkan. Tidak hanya karena akan berubah status, tapi juga ini terkait tanggung jawab yang besar. Tidak hanya ke diri sendiri tapi bakal ada orang lain yang dosanya akan kutanggung. Juga, lurus dan belok-beloknya prahu ini bakal aku yang jadi komandonya. Hal penting lain adalah, nasib dua keluarga yang harmoninya harus dijaga.
Itulah sepenggal kecamuk dalam pikiran seorang laki-laki ketika berakad dengan mertua yang menikahkan anaknya. Pada titik itu, dia si laki-laki akan menjadi penerus dan pembimbing. Menjadi suami. Ujung tombak penentu surga dan neraka.
Yaa… Itu dulu, pikiran muda, sekarang beda lagi. Tiba-tiba saja saya kaget disuruh memberikan nasehat pernikahan. Woooo…
Pertanyaannya apakah saya harus mewariskan itu ke adik saya, hmmm… tidak karena dia perempuan. Jadi…. Otak saya ceritanya langsung berputar-putar.. Apa ya…??? Maklum saya bukan dai, saya ini hanya anak biasa, suami dari seorang istri, kepala keluarga yang umurnya juga masih seumur kacang.
Jadi apakah saya siap memberi nasehat? Ternyata tidak. Kejadiannya bahkan cukup mengagetkan sama seperti mengejutkannya ketika anakku yang kedua setahun lalu harus mendahului kami. Rasanya sesak dada ini, bingung, sedih, pilu, dan sampai sekarang kadang saya masih menangisinya sendiri.
Dalam hati bertanya, kenapa ya ada begitu banyak hal-hal yang belum terduga dan saya belum siap pahami tapi harus saya alami. Bukan tidak tahu, saya tahu itu akan terjadi, tapi badan dan jiwa ini rasanya belum pas. Belum siap menerima. Pikiranku, “bahasa jawane durong nyandak” atau seharusnya belum sampai ketahapan itu, karena, rasanya kok masih terlalu jauh alias belum waktunya lah.
Tapi, Allah Yang Maha Punya Kehendak berkata lain. Saya harus melalui tahapan itu lebih awal.
Tapi, kalau dipikir-pikir betul juga, banyak hal-hal kecil yang sebenarnya melatih kedewasaan terus saya lalui. Ini terjadi seiring waktu yang terus bergulir. Banyak permasalahan muncul dan semuanya harus saya selesaikan sendiri. Contohnya, menjadi imam shalat dulu rasanya canggung, tapi mau tidak mau saya harus. Kemudian contoh lain misalnya tiba-tiba disuruh mimpin doa. Hal lain misal, meminjam alat ke tetangga, bersosialisasi dengan tetangga, rapat RT, dan lainnya. Dulu nggak pernah, maksudnya untuk tanggung jawab sendiri — kalau maksudnya mewakili orang tua pernah hadir.
Oke, kembali lagi ke soal nasehat tadi. Karena request mendadak dan tidak kepikiran apa yang mau disampaikan waktu itu, tanpa konsep, maka apa yang terlintas saat itu saja yang jadi pokok inti pembicaraan lidah ini. Spontanitas kata kerennya.
Pertama perhatikan tetanggamu dan kedua adalah perhatikan anak-anakmu. Itu dia, satu kalimat singkat tanpa embel-embel penjelasan.
Kenapa? Karena saya berpikir bahwa saya berbicara dengan orang-orang hebat dan mungkin lebih tua dari saya. Kedua, sepertinya sudah lebih dulu banyak nasehat dari para sesepuh yang lebih berpengalaman.
Nah buat yang lain yang belum paham dan mungkin muda-mudi yang baru mau nikah, saya akan berikan gambarannya seperti ini. Sebelumnya, berhubung saya bukan ahli Al-Quran dan Hadits, jadi konteksnya saja yang masuk.
Tapi akan ada beberapa tulisan, jadi sabar ya. Ini semua turunan dari kata tetangga dan anak-anakmu. Ini seperti tulisan berseri.
Jd inget, pernah nulis ‘nasehat pernikahan’ buat temen sm adek. Tp ga disampaikan di depan umum. Jd terinspirasi buat ditulis ulang di blog. So, klo bsk anakku nikah, tinggal copas aja..ga usah mikir lg :D.
Btw,Titip salam Gus buat Cici sm calon adeknya Rein..smg sehat semua..
Hiii… Iya Lala.. Makasih..