Kenapa ATM Tidak Jadi Satu Saja? Mei 20, 2012
Posted by agusdd in science.trackback
Pagi-pagi datang ke ATM untuk ambil duit. Heran, sejak kapan ya tempat ATM jadi parkiran private. Masa gue cuman ngambil duit aj dipalakin ama tukang parkir. Perasaan dulu disini nggak ada tukang parkir deh. Bagaimana prosesnya kok bisa jadi ambil duit harus bayar? Ck ck ck…… Bener-bener Indonesia yang aneh.
Hmmm tapi bukan itu yang mau gue bahas. Kali ini temanya soal banyaknya jenis ATM. Dari perspektif orang awam ada pertanyaan yang ingin gue tanya. Kenapa ATM itu nggak jadi satu aj? Bukankah itu lebih memudahkan konsumen dalam bertransaksi. Jawaban orang bank ada banyak kemungkinan : satu, nanti kalau duit abis dan ATMnya nggak jelas lalu siapa yang mau isi dua, transaksinya siapa yang mantau
tiga, biaya jaringan siapa yang bayar
empat, pantauan CCTV masuknya kemana
lima, biaya pemeliharaan siapa yang tanggung
enam, bank-bank yg pertama bikin jaringan wajar dong dapet untung, masa bank-bank baru mau tinggal enaknya nikmati jaringan. Tar bank gue jadinya nggak laku
Sampai saat ini, ada enam alasan yang masuk ke logika gue. Ya kira-kira begitulah jawaban dan alasan yang akan mereka jawab. Alasan ke 6 adalah yang mendasar bagi mereka, karena ATM itu adalah jasa servis plus yang salah satunya dipilih oleh nasabah.
Tapi ATM memang bukan utama. Karena kan sudah ada jaringan bersama dan PRIMA?
Oke, ada 30 ribu lebih jaringan ATM yang bisa dimanfaatkan. Cuman kan kita kalau tarik dari jaringan itu harus bayar 5000 per item, jaringan tertentu malah 25.000.
Ya ini saya tahu, bayaran kan lumayan buat penghasilan banknya. “Ini kan itung-itung gantiin biaya internet plus servis dan pengamanan. Toh berapa yang transaksi dari ATM saya,” kata petugas banknya.
Well, bagi nasabah memang nggak ada salahnya. Toh saya dah nikmati fasilitas dan kemudahan itu. Cuman kalau berpikir lagi, kenapa kok ada bank asing yang mereka menawarkan ke kita pokoknya bebas tarik di ATM mana saja? Bagaimana, kenapa kok mereka bisa ya?
Seharusnya kalau bank itu berpikir customer bases, dan menyebut ATM itu sebagai jaringan dan jadi bagian pelayanan, apalagi plus, ya kita jangan disuruh bayar dong. Kalau begini kan jadinya dari logika nasabah terbalik kan ya? Betul tidak.
“Masa saya sudah nabung di kamu, saya mau narik di ATM jaringan yang katanya joinan sama kamu, kok gue mesti bayar lagi si bank” tanya gue ke bank ini.
Sayang, lagi-lagi jawaban mereka balik lagi ke atas. “Kenapa bank asing bisa?”
“Itu kan bagian strategi marketing mereka biar dapat nasabah disini, kalau nggak kan kalah ama bank lokal dek”
“Kenapa bukannya bank kita yang berpikir terbalik menjadi customer based agar semua ATM itu tarik dimana saja geratis. Kalau begitu kan bank asingnya makin susah hidup disini, biar mereka berpikir ke produk lain”
Belum pernah ada yg menjawab pertanyaan terakhir ini. Mereka rata-rata balik lagi ke jawaban diatas, sehingga kalau ditanya terus jawaban dan pertanyaan hanya berputar-putar saja.
Gue ngelihatnya, bank disini memang seperti tukang parkir tadi. Kita nggak ngapa-ngapain tapi kok dipalakin. Kita yang nabung, duit dimanfaatin ma mereka tapi kok kita mau narik justru dimintain duit.
Hidup dinegeri ini sangat lucu, ada istilah yang selalu jadi joke pada skeretarisku “Susu dinegeri ini sedang diperas, sementara rakyatnya dicekik”
Perlahan namun tidak sadar, kita ada dalam ambang kesengsaraan.
Coba kita pikirkan, kalau saja ATM ini digeratiskan dan semuanya jadi satu, kan itu akan menghemat biaya jaringan, biaya pengamanan, biaya servis, biaya lain-lain yang ditanggung. Coba saja bandingkan.
Apa iya biaya 5000 yang kita bayarkan di ATM bisa mengganti biaya beli ATM itu? Berapa coba beli ATM dan bangunya, paling tidak Rp 200 juta, belum biaya perawatan dll. Emang berapa kali kita narik di ATM jaringa itu, 1, 2, 3…..? Bahkan meski dikonversi dengan 1000 penarik pun, biaya investasi itu belum akan balik modal dalam tempo tahunan.
Berbeda kalau digeratiskan, bank kan tidak harus mengeluarkan biaya ekstra baik itu biaya pemeliharaan seperti AC, listrik, pengamanan dll. Tapi mereka sudah mendapatkan fasilitas plus bagi nasabah. Nasabah pun disini senang dan dengan senang hati nabung.
Kenapa BUMN kita tidak berpikir demikian? Bukankah itu lebih efisien dan mereka akan jadi lebih kompetitif dinegeri sendiri?
Jawabannya mereka sudah berpikir tapi itu tidak bisa terlaksana karena mereka egois. Itulah penyakit orang egois. Miskin hati. Lama-lama mati. Karena selama orang itu egois tidak mendengarkan orang lain, dirinya akan makin ditinggalkan. Simpelnya siapa si yang suka dengan orang sombong?
Komentar»
No comments yet — be the first.