Ketika Bernafas Harus Membayar Juli 29, 2011
Posted by agusdd in lihat sekelilingku, Nasehat, perenungan, science.trackback
Sebagai orang tua dari dua anak, saya ikut terpanggil dengan testimoni yang dikirimkan oleh seorang temanku. Isinya tentang penyakit yang baru gue denger namanya GBS. Cukup bisa digunakan sebagai bahan perenungan akan begitu mahalnya biaya ketika hidup kita itu segalanya harus membayar.
Testimoni
Membayar Nafas, Menjaga Detak Jantung Azka dan Shafa…!!!
– Jarang Tersosialisasi, Penyakit Aneh Berbiaya Mahal
– Azka Kritis, Shafa Nyaris Setahun Tanpa Ada Kepastian
Gullain Barré Syndrome (GBS). Mendengar nama ini anda mungkin masih kurang familiar atau bahkan tidak tahu. Namun GBS menurut pakar kesehatan patut diwaspadai karena termasuk penyakit langka. Jika pernah terserang penyakit GBS maka seumur hidup pasien akan hidup dengan GBS. Bisa berujung kematian bila salah penanganan.
Meski ditemukan sejak tahun 1916 oleh dua orang dokter dari Perancis, bernama Jean-Alexander Barré dan Georges Charles Guillain, namun pasien GBS masih jarang ditemukan di Indonesia bahkan dunia. Dari rekap medis, dalam setahun pasien GBS hanya 1:40.000 dan sebagian besar kurang mendapatkan informasi apa itu GBS sehingga sering disangka penyakit lemah layu atau cikungunya. Padahal jika terlambat penanganan, pasien GBS dalam hitungan jam sedang dihadapkan pada jurang kematian….! Sudahkah anda tahu GBS itu apa?
Usianya masih sangat muda. 4 Tahun. Muhammad Azka Arriziq adalah putra tunggal pasangan Anto Aryanto (42) dan istrinya Rinawati Rina (39). Bagi pasangan Dosen Universitas Lancang Kuning Pekanbaru dan Guru TK di Bogor ini, Azka adalah mutiara hati yang dinanti setelah 10 tahun pernikahan mereka.
Sejak lahir dan memasuki usia 4 tahun, tidak ada yang aneh dengan Azka. Tubuhnya sehat. Tingkahnya menggemaskan. Layaknya anak-anak seusianya, Azka tumbuh sebagai anak yang selalu riang dan ceria. Tidak pernah ada keluhan medis selain flu atau demam yang memang biasa menyerang anak-anak.
Semuanya mendadak berubah sekejap mata. Tanggal 21 Juli 2011, saat Rina tengah melaksanakan sholat malam jam 03.00 WIB, Azka mendadak mengeluhkan kakinya terasa kesemutan. Rina menganggap keluhan anaknya sebagai keluhan biasa. Rina yang memang tidak pernah tahu GBS itu apa, tidak sadar kalau kesemutan yang dirasakan Azka adalah tanda-tanda awal GBS. Untuk kembali menidurkan Azka, Rina membuat sebotol susu seperti permintaan anaknya.
Namun paginya kondisi Azka mulai memburuk. Kaki Azka tidak bisa digerakkan sama sekali. Jari-jari tangan mulai berat untuk digerakkan. Rina mulai khawatir. Bersama adiknya, dengan menggunakan sepeda motor Rina berangkat ke RSUD Ciawi. Sambil menggendong Azka, sejak pukul 10.00 WIB, Rina baru dapat membawa Azka berkonsultasi dengan Dokter pada pukul 14.00 WIB mengingat panjangnya antrian pasien.
Begitu melihat kondisi Azka, Dokter di RSUD Ciawi langsung mendiagnosis Azka terkena Gullain Barré Syndrome (GBS). Suatu penyakit yang menyerang imun tubuh dan membuat kelumpuhan otot hanya dalam hitungan jam. GBS bahkan membuat otot pernafasan tidak bisa bergerak, sehingga paru-paru tidak bisa bekerja optimal bahkan lumpuh. Inilah yang membuat Azka kian lemah.
Dokter di RSUD Ciawi langsung merekomendasikan Azka mendapatkan bantuan pernafasan dengan menggunakan ventilator (alat bantu pernafasan). Saat itu satu-satunya Rumah Sakit yang memiliki ruang ICU-PICU dan memiliki alat ventilator adalah RS Azra di jalan Padjajaran, Bogor. Rina langsung memboyong Azka ke Azra. Begitu masuk ke ruang Ventilator (terhitung 15 jam kemudian sejak mengeluh pertama kali jam 03.00 WIB), Azka langsung koma.
Hingga hari ini (29/7), di hari kesembilannya di RS, Azka ibarat manusia robot. Berbagi hidup dengan mesin. Ibarat mayat hidup, meski jantungnya berdetak lemah, seluruh gerak motorik tubuh Azka bahkan paru-paru tidak bisa bekerja. Untuk mempertahankan kehidupan, Azka harus menggunakan ventilator untuk memompa paru-parunya dan dijaga 24 jam oleh tim dokter. Nyaris 100 persen kehidupan Azka yang semula riang dan lincah, kini hanya mengandalkan peralatan medis dan mengkonsumsi obat GBS berbiaya mahal.
Karena obat GBS saat ini memang hanya ada satu yaitu Gamamune (Imuno globuline) yang harganya mencapai Rp4-5 juta rupiah per botol. Untuk satu pasien GBS diwajibkan mengkonsumsi bahkan hingga 2-3 botol per hari. Sementara tahap penyembuhan bisa hitungan bulan bahkan tahun hanya bergantung pada ventilator dan obat-obatan. Bahkan hingga saat ini belum ada tim medis dunia yang mengetahui, kapan pasien GBS bisa benar-benar lepas dari ketergantungan ventilator dan obat-obatan.
Dengan biaya super tinggi, Anto dan Rina kini harus berpacu dengan waktu. Antara mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang dengan mempertahankan nafas buatan putra mereka yang berbiaya sangat mahal. Karena jika tidak bisa membayar lagi, artinya mereka harus merelakan putra mereka dibiarkan tidak bisa bernafas. Lalu mati hidup-hidup (karena sebenarnya pasien GBS masih hidup, karena jantung mereka normal namun paru-paru saja yang tidak bisa berfungsi).
‘’Azka putra kami masih hidup. Meski lumpuh total dan koma, saat didengarkan Ayat Al Quran dan diajak berbicara, air matanya keluar. Sesekali matanya terbuka meski menutup lagi. Dia masih hidup, jantungnya masih ada, hanya lumpuh dan paru-parunya tidak bisa berfungsi. Jika kita bernafas gratis, maka Azka hanya perlu membayar setiap kali bernafas. Allah swt masih menitipkan anak ini untuk tetap hidup, kami tidak mungkin membiarkannya mati dan menyerah begitu saja,’’ kata Rina, Ibu Azka.
Azka tidak bisa bernafas sendiri karena GBS telah menyerang seluruh otot hingga ke paru-paru dan otak. Didua sisi tempat tidur Azka, selain terlihat alat-alat pemantau detak jantung, juga ada alat pernafasan, suhu tubuh, tensi darah dan banyak lagi lainnya yang berhubungan langsung dengan Azka. Hampir seluruh wajah dan tubuh Azka dipenuhi dengan alat-alat medis.
Mungkin karena mulai putus asa dengan biaya pengobatan yang sudah lebih Rp80 juta, yang didapat dari jual tanah, gadai surat berharga dan lainnya, Rina dan Anto nekat mengirimkan pesan singkat (SMS) kepada Menteri Kesehatan EndangRahayu Sedyaningsih memohon perhatian.
Endang memang membalas pesan Rina bahkan langsung mengirimkan tim dari Kemenkes untuk melihat kondisi Azka di Bogor. Tim dari Dinas Kesehatan Bogor yang semula tidak tahu ada pasien GBS di wilayah mereka juga ikut turun. Namun semuanya baru tahap wacana akan membantu, sementara setiap detiknya berarti nyawa untuk Azka.
‘’Kami berterimakasih Buk Menteri mau membalas sms dan mengirimkan tim. Masalahnya, Azka saat ini butuh bantuan riil bukan hanya janji atau wacana. Karena setiap hari, kami harus menyediakan saldo Rp8-10 juta untuk mempertahankan Azka tetap hidup dan itu entah sampai kapan. Sementara semua harta benda sudah kami jual,’’ kata Rina.
Ternyata Azka tidak sendiri. Dari hasil penelusuran ditemukan satu lagi pasien GBS di Jakarta bernama Shafa Azalia. Bukan tidak mungkin, Azka akan bernasib sama seperti Putri Zulkarnain yang berusia 4,6 tahun ini. Sejak 17 Oktober 2010 (nyaris setahun) Shafa hidup dengan mengandalkan ventilator dan obat-obatan berbiaya tinggi. GBS membuat Shafa harus berbaring lemah di St Corolus dengan alat-alat ventilator ditubuhnya.
‘’Sejak 17 Oktober 2010 sampai 14 Februari 2011, saya sudah habis lebih Rp300 juta. Belum lagi hutang yang sudah mencapai Rp200 juta. Pihak RS St Corolus dan Pemprov DKI sangat membantu kami, sudah memberikan bantuan Rp100 juta. Tapi Shafa belum tahu kapan sembuhnya karena bergantung dengan ventilator dan obat-obatan yang sangat mahal. Sementara bantuan pemerintah yang Rp100 juta sudah habis hanya dalam hitungan minggu,’’ kata Zulkarnain.
Meski telah menjual rumah, tanah dan nyaris seluruh harta bendanya, Zulkarnain mengatakan GBS yang menyerang Shafa tak pernah pasti kapan akan berakhir. Kini Zulkarnain mulai menyerah dengan biaya yang cukup tinggi. Untuk mengajak masyarakat peduli tentang GBS sekaligus membantu Shafa, Zulkarnain membuka website khusus dengan alamat www.senyumshafa.blogspot.com.
Dalam postingan blog ini terlihat foto-foto Shafa. Meski sudah terlepas dari masa kritis, Shafa masih mengandalkan ventilator dengan cara lehernya dilubangi langsung ke paru-paru atau trakeastomi. Setiap hari Shafa hidup di atas tempat tidurnya di ruang ICU bahkan mendapat gelar ‘Ibu Camat’ dari para suster dan dokter RS Carolus, karena pasien ICU keluar masuk, namun Shafa tak pernah dapat dipastikan kapan bisa meninggalkan ruangan dan alat-alat medis yang melekat ditubuhnya.
‘’Awalnya satu bulan pertama, ventilator melalui mulut. Namun sejak bulan kedua, ventilator Shafa melalui leher yang dilubangi. Sesekali Shafa belajar bernafas normal, namun hanya mampu beberapa menit atau jam saja, setelah itu tubuhnya membiru tak bisa bernafas. Shafa belum kuat bernafas tanpa alat dan bantuan obat-obat GBS yang sangat mahal. Hingga sekarang belum bisa ditanggalkan, karena belum ada tanda-tanda paru-paru Shafa kuat berfungsi sendiri,’’ kata Zulkarnain.
Mungkin karena kurang tersosialisasi, meski update bercerita tentang kondisi Shafa, blog Shafa terlihat sepi dari pengunjung. Pernah beberapa kali Zulkarnain berharap ada media yang mengangkat kasus GBS agar mendapat perhatian dari pemerintah khususnya Menteri Kesehatan.
‘’Tapi sejak Shafa masuk hingga hari ini, belum ada media yang mengangkatnya, baru anda yang menghubungi saya. Saya sangat bermohon sekali kepada Bapak Presiden atau Ibu Menteri, untuk bantu saya menghadapi GBS yang menyerang Shafa. Dengan biaya demikian besar ini, saya tidak tahu sampai kapan kami bisa bertahan. Saya sudah mendengar juga cerita tentang Azka, nasib kami para orangtua pasien GBS hampir sama, kami tidak mungkin membiarkan anak-anak kami meninggal begitu saja hanya karena biaya sementara mereka sebenarnya masih hidup,’’ kata Zulkarnain menghiba.
Menteri Kesehatan EndangRahayu Sedyaningsih pada wartawan, mengaku telah menerima informasi mengenai kondisi Azka dan Shafa. Endang mengakui bahwa pengetahuan terhadap GBS di Indonesia masih sangat kurang. Karena penyakit ini sendiri masih terbilang jarang terjadi. Sejauh ini penelitian-penelitian yang dilakukan belum dapat menemukan secara tepat enzim, hormon atau syaraf apa yang menyebabkan munculnya sekumpulan penyakit syaraf (polyneuritis) ini.
Para pakar baru menemukan, bahwa GBS bekerja dengan sistem menyerang kekebalan tubuh. Pada sel tubuh yang normal sistem kekebalan tubuh akan memberikan perlawanan terhadap organisme asing yang masuk dan menyerang tubuh. Namun demikian pada GBS sistem kekebalan tubuh mulai menyerang sel (khusunya myelin dari axon) pada susunan syaraf tepi.
Hal ini menyebabkan fungsi myelin dari axon secara bertahap rusak dan luka. Akibatnya syaraf pada susunan syaraf tepi berhenti meneruskan perintah. Dan yang terlihat adalah otot-otot yang berada di bahwa pengaruh susunan syaraf tepi kehilangan kemampuannya untuk mengikuti perintah otak dan sebaliknya otak pun hanya mendapat sedikit tanda dari tubuh. Inilah yang menyebabkan pasien mengalami kelumpuhan total.
Selain langka, beberapa pakar kesehatan menyebut penyakit GBS sebagai penyakit yang cukup aneh. Disebut aneh karena hingga saat ini para ahli belum menemukan penyebab utama munculnya penyakit ini. GBS bukan penyakit turunan, tidak menular, bukan pula karena faktor lingkungan ataupun makanan yang kurang sehat. Satu-satunya bukti ilmiah yang didapat oleh para ilmuwan adalah bukti bahwa pada penderita GBS sistem kekebalan tubuh secara mandiri menyerang tubuh, oleh sebab itu GBS dikenal juga dengan auto-immune disease.
Endang pun berjanji akan terus berupaya melakukan sosialisasi GBS kepada masyarakat. Apalagi untuk tidak meremehkan tanda-tanda GBS pada anak ataupun orang dewasa, seperti kesemutan. Endang pun meminta bantuan media massa untuk maksimal mensosialisasikan GBS ini kepada masyarakat.
Persoalannya saat ini, apakah Azka yang saat ini sedang kritis ataupun Shafa yang nyaris setahun hidup dengan ventilator dan obat-obatan, bisa menunggu waktu sosialisasi Buk Menteri? Sementara biaya pasien GBS untuk tetap bertahan, sangat tinggi dan tidak bisa menunggu.
Nyawa Azka kini bergantung seberapa banyak uang bisa didepositkan di RS. Setiap jam di setiap hari adalah perjuangan mempertahankan nyawa. Bisa dimaklumi bila obat-obatan terasa mahal, karena memang obat dan alat hanya bersifat sementara dan masih satu-satunya cara, sementara pasien GBS bersifat unlimitted (tanpa batas waktu) kapan akan sembuhnya. Bisa sebulan, setahun atau beberapa tahun lagi. Meski Anto, Rina atau Zulkarnain telah habis-habisan menjual apapun yang mereka punya, tapi sampai kapan para orang tua GBS ini bisa bertahan???
Kami mengetuk pintu hati semua pihak, berilah kesempatan kepada Azka yang masih muda, untuk tetap bisa hidup. Azka membutuhkan uang untuk membeli udara. Membiarkannya bernafas guna melewati masa kritisnya. Jika pun Azka akan bernasib sama seperti Shafa, harus hidup dengan ventilator dan obat-obatan, maka kami sangat bermohon sekali, ada donator yang bermurah hati memberikan Azka dan Shafa kesempatan melanjutkan kehidupan. Semoga Azka dan Shafa menjadi pintu barokah untuk kita. Karena Azka, Shafa atau anak-anak lainnya (yang entah ada dimana tidak terpantau media), telah menjadi ‘martir’ mengajarkan pada kita tentang apa itu GBS?
Hormat Kami,
Gerakan Peduli GBS
Orang Tua Azka, Pak Anto (081280114522)
Orang Tua Shafa, Pak Zulkarnain (081399101927) rekening BCA no.1062189732 atas nama Zulkarnain
Maaf sy baru mmbaca ini tgl 9 sept 2012.bolehkah saya tahu kabar shafa,azka sekarang?
This information is worth everyone’s attention.
Where can I find out more?