Ketika Aku Memilihnya November 4, 2010
Posted by agusdd in perkawinanku, Tentang cinta.trackback
Tak terasa umurku ternyata sudah 28 tahun. Setengah tua, setengah baya, setengah berumur atau apapun itu, kini aku sudah hampir punya anak dua. Istriku tentu saja tetap satu, tidak nambah lagi. Tidak dua atau tiga, empat dst….
Buatku satu orang cukup. Aku sungguh sangat bahagia dengannya.
Tanggal 22 November ini nanti, umur pernikahan kami tepat berusia dua tahun. Jam 08.26 menit tepatnya di istana negara kami melangsungkan akad nikah itu. Rasanya pertama aneh, kaku, terganggu juga seperti ada beban berat yang dirasa. Tiba-tiba saja ada sosok perempuan yang harus kejaga seumur hidupku.
“Apa bisa?” tanyaku dalam hati. Tapi toh kini kami hampir dua tahun. Waktu memang selalu jalan kedepan, tak akan maju atau mundur barang sedetikpun, semua harus aku hadapi apapun itu jalan dan risikonya.
Aku masih coba terus mengingat, “apa si pesan/nasehat penceramah yang saat itu mengisi nasihat pengantin? kok tidak ingat juga ya”. Kala itu ada lima pesannya, hanya itu ingatanku yang ada. Seharian otakku berpikir dan mencari jawaban adakah aku bisa terus menjaganya sampai akhir hayatku. hmmmmmm……..(bergumam sendiri tak tahu jawabannya).
Dulu perempuan yang saat ini kupilih jadi istri ini adalah teman kuliahku. Pertama mengenalnya, aku tahu karena dia punya geng sendiri. Usut punya usut, setelah ditelusuri ternyata dia adalah anak PBUD alias penjaringan bibit unggul daerah. Sama dengan aku, bedanya aku tak kenal dia dan geng PBUD karena aku lulus matrikulasi. Jadi saat masuk OSPEK, murni aku datang tanpa kenal seorang pun.
Mengapa aku kenal dia? Ceritanya panjang. Tapi bukan hanya aku, siapapun pasti akan mengenalnya.
Saat itu dalam hati komentarku tentang dia adalah “Anak ini sungguh crewet, sok tahu, provokator, pinter ngomong, sok berkuasa, sok ngatur”. Kenangan paling inget adalah saat kami berkumpul dideket tempat pompa air dekat parkiran Laboratorium Biologi Umum. Saat pemilihan ketua anggatan, ia adalah salah satu cewek yang cas-cis-cus, ini-itu.
Dari jauh dibagian lingkaran terluar kumpulan mahasiswa baru itu aku mengerutu. “Crewetnya bukan main” ujarku.
Terus terang aku tidak suka orang cerewet dan sok mengatur. Tapi pikiran itu segera kuredam. Pikirku ada gunanya juga orang-orang seperti itu karena ditengah kami sebagai kumpulan mahasiswa baru yang tidak saling kenal ada seorang mahasiswi yang berani vokal untuk mengatur dan menertibkan suara kami agar bisa bersuara dan teratur. Niat itu sungguh baik, aku pun memutuskan jadi pengikut setia saja.
Berawal dari rasa benci karena cerewet dan geng-gengan itu, perlahan rasa yang aku benci itu kini harus melekat denganku selama-lamanya. Perempuan yang dulu suka mengatur itu kini harus aku atur. Keras kepala? ya tentu saja, tapi tak apalah yang penting jangan keras hati.
Empat semester kami kenalan. Belajar satu tim, satu kelompok laboratorium, kuliah dengan bangku bersebelahan, satu organisasi membuat aku makin mengenalnya.
“Cici itu ternyata anak hebat,” ujarku mengaguminya. “Putih, tinggi, cantik, cerdas, gesit, mandiri, briliant (penuh ide), kreatif, rajin, dan motivatorist” pikirku semua lengkap ada pada dirinya. Bisa diibaratkan ia adalah cewek serba bisa.
Sayang, aku sama sekali tidak berniat meminangnya saat itu. Impianku adalah mendapatkan seorang pendamping hidup dokter, hahahaa…”sedikit berharap siapa tahu jodoh,” doaku kala itu bahkan sebelum kuliah semester I.
Namun, jodoh memang berkata lain. Semester I berjalan aku kenal dia, semester dua aku makin kenal lagi, semester tiga makin tambah kenal, dan pada semester empat aku sangat mengenalnya.
Entah karena apa, perasaanku mulai memperhatikan dia. Cici yang dulu ku kenal periang, perlahan mulai menjadi lentera hidup dan gambaran seorang pacar yang tepat. Apakah aku jodohnya? aku mulai berpikir mempertimbangkannya.
Bergaul diorganisasi mapala waktu itu, membuat aku makin tambah tahu seperti apa seorang cici itu sebenarnya. Kira-kira waktunya adalah semester tiga dan empat. Saat itu kami mendaftar di Matalabiogama, salah satu organisasi pecinta alam di kampusku. Herannya, entah disengaja atau tidak, kakak-kakak angkatanku selalu memasangkan aku dan dia dalam satu kendaraan. Jadi kalau kami pas akan pergi keluar kota atau kelapangan, motor yang aku kendarai selalu bersama dia. Kami memang tidak selalu dalam satu tim, tapi keseringan membonceng dia itu adalah saat-saat aku selalu berdua bersamanya.
Sebenarnya pembicaraan kami biasa tak ada mengarah ke ini itu, aku merasa semua biasa. Jangankan naksir hati, niatan saja aku tidak. Buatku cici adalah pasangan tim dan aku harus mengantarkannya sampai tujuan (tempat latihan).
Diorganisasi, cici ini dikenal sebagai orang yang punya inisiatif dan pendirian. Kemampuan dia berbahasa lisan membuat ia selalu dipilih sebagai seksi acara untuk setiap event. Sementara temen satu gengnya selalu menjadi MC di acara apapun. Ya itulah mereka, semua berawal karena crewetnya itu.
Istriku ini dulu cukup dikenal banyak teman karena anaknya selalu vokal dihadapan orang lain. Kalau dia tidak sepakat, ia adalah cewek pertama yang berani menyampaikan pendapatnya. Ragam pertanyaanpun sering dilontarkannya ke narasumber. Tak heran ia juga menjadi bintang diangkatan kami.
Itulah dia cici, Suci Dian Hayati.
Ibu muda yang tetap cantik meski sudah beranak dua.
Kini dia adalah istriku yang selamanya menjadi milikku. Terserah aku mau aku apakan. Aku kini adalah suami yang berhak mengaturnya.
Sungguh istriku ini sangat luar biasa.
Mungkin memang rahmat-Nyalah yang bisa membawaku mendapatkan seorang istri dari bintang yang begitu terang.
Istri yang sungguh sangat penyayang, istri yang sangat kurindukan. Aku ingin selalu membuatnya bahagia dan tersenyum.
Hanya dia istri yang sungguh kudamba. Istri yang sangat kusayangi dan akan kujaga sampai mati.
Love U.
ow….so sweat….luv u darling..hahaha…ternyata begitrong gambarannya..tar tobat loh kalo umi cerewet lagi..hahaha…