jump to navigation

Di Brastagi Aku Melamar Maret 30, 2008

Posted by agusdd in perkawinanku.
trackback

Brastagi, kota dimana tempat calonku dibesarkan oleh sang Ayah, Kamis 20-22 Maret 2008, aku datangi bersama keluargaku cukup sejuk dan sangat menarik. Bagi yang belum pernah kesana, suasananya disini bisa saya gambarkan sepeti gunung. Bagi orang Jakarta mirip seperti puncaknya, sedang bagi orang Jogja mirip seperti Merapi. Dingin…?? Hoho jelas itu, kata sang ayah, kakeknya calonku, tingginya diatas 2000 meter. Walah pantes saja jika dingin, ya kan.

Nah kembali cerita melamar, maka ini adalah hari yang kami berdua tunggu. Gimana tidak, wong sejak kami jadian, kami langsung minta nikah. Sayang g disetujui, ya.. Maklum karena masih anak-anak kali y. Tapi menurutku itu salah. “Melamar tidak perlu ditunda, kalo sudah siap mengapa ditunda,” pikirku sampai sekarang. “Eh salah, nikah maksduku”.

Sebelum berangkat, aku sudah banyak bertanya soal Brastagi. Anehnya tidak cuman sama keluarga calonku tok aku diberi nasehat dan cerita2 soal Medan dan Brastagi. Di LIPI, pas aku kebetulan ngobrol ketemu juga sama orang Medan. Dia dari Toba.

“Walah rek, dingin tenan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. He…..

Ini bukan perkataan yang pertama kali. Tetapi sudah banyak kali kudengar. Ya begitulah, keluarga calonku memintaku kesana dengan alasan kemarin waktu adeknya calonku yang menikah, semua acaranya di Jakarta dan Bandung. Jadi kini, kami harus berela jauh2.

“Pengalaman sekaligus perjuangan,” ucapku dalam hati sambil menghembuskan napas.

Keindahan tentang Medan juga dikatakan oleh temanku yang juga satu kerjaan. Sangat menarik sekali gambaran yang aku terima. Menurutnya bahwa Medan adalah kota yang cocok dan belum disentuh sisi bisnisnya. Ada banyak peluang dsana. Tapi sayang karena kami cekak modal y sementara kami harus off dl.

“Jangan heran y nti kalo lihat mobil disana adaa tulisan upah latih atau nama marga lain seperti ada tulisan si angin-angin di belakang mobil. Itu tandanya ungkapan kebanggaan orangnya alias si pemilik atas jerih payahnya dalam mendapatkan mobil itu,” ujar temanku yang nama belakangnya ini Kembaren. Dia orangnya lucu dan sangat friendly. Mungkin memang bgt watak orang Medan. Sopan, keras sekaligus menantang. Terlihat seperti sombong tapi sebenarnya g, itu karena nada bicaranya saja yang memang keras. Dah seperti adat disana gt. Sama kayak orang desa kali triak2, hee… Yang kusuka adalah mereka semua fair.

“Brastagi itu dingin kawan, bawa jaket ya,” ucapnya dengan logat Medan. He…. Khas banget, tau kan. 🙂

Nah, nasehat dingin ini juga disampaikan oleh keluarga calonku agar kami waktu kesana tidak lupa membawa jaket. Nasehat juga diberikan oleh dua orang yang baru kukenal di terminal. Mereka adalah sopir angkot 27 di Pulaugadung. Jadi waktu itu aku ketemunya saat mau jemput bapaku pas malam hari mereka setibanya dari lampung. Waktu itu malam Kamis, karena kami rencana berangkat ke Medannya pada kamis pagi, jam 10 pas pada tanggal 20-nya.

Ortuku malam ini, menginap di kosku. Sementara aku menjenguk mas tiyo, dimalam hari sebelum keberangkatan karena kudenger kabar ia masuk rumah sakit di MH Thamin. Dah dua hari, so kalo aku berangkat u jangka waktu 3 hari, aku musti jenguk dl, pikirku. Takut ntinya kalo pulang dia jg dah pulang. Kan g enak kalo ketemu nti.

Kami pulang dari RS baru pukul 12 malam. He… Ceritanya lucu karena Rumah sakit, pintunya oleh pak satpam aja dah mau ditutup, yah mau gimana lagi, wong juga ada urusan urgen. Kikikiiiiiik….

Pagi pukul 06.00 WIB, kami berangkat ke Terminal Rawamangun, dari situ perjalanan kami lanjutkan ke Bandara dengan damri. Ah… Jadi juga aku melamar hari ini. “insylah perjalanan lancar dan semua rencana juga lancar,” doaku dalam hati, dan semua “see” I’m back, and wrote this story for u. Makasih y doanya…

Tau g, aku senang sekali, karena semuanya berjalan lancar.

Nah cerita keberangkatan ku mulai dari kedatangan kami di Bandara. Jam 8 pagi kami sudah berada dilokasi check in. Maksudnya biar bisa milih kursi, tp ternyata salah, sudah banyak yang milih kursi. So, selama keberangkatan kami ke Medan, tempat duduk kami terpisah semua. Aku berangkat bersama Bapakku, Pak Wagiman sebagai waliku, Aku sendiri dan calonku. Maklum, karena tidak faham Medan, jadi keberangkatan kekasihku yang cantik ini berbarengan dengan kami.

Btw ini adalah perjalanan ortuku pertama dengan pesawat, tak heran mereka berdua terlihat memandangi lingkungan bandara dengan seksama. “Wah semua disini orang-orang berduit y gus,” tanya bapaku sambil mengrenyitkan dahinya merasa diri kuper dan katrok, diambil dari istilah Tukul Arwana, penyiar empat mata di Trans TV.

“Nggak juga kok pak,” jawabku menjelaskan. Sambil menunggu si cici check in ku jelaskan bagaimana cara naik pesawat mulai dari pesen tiket, check in sampai nanti pendaratan di Medan. “Memang g ribet amat si, cuman anehnya terbang paling hanya 1,5 jam tapi ngantrinya 4 jam sendiri,” ujarku menimpali penjelasanku. Memang bgt kan? Naik pesawat itu malah lama di ngantrinya ketimbang naik pesawatnya, tapi itu kalo cuman tujuan deket. Trs kalo naik pesawat itu, lanjut ceritaku, nti pas ketemu cuaca buruk agak kerasa bergoyang seperti kta lagi lewat di jalan berlobang, ujarku menjelaskan.

Tak terasa satu jam telah berlalu. Kerberangkatan pesawat yang kami tunggu akhirnya datang juga. Usai boarding yang membutuhkan waktu tidak lebih dari 3 detik dan ngantrinya 5 menitan, akhirnya kami menyusuri lorong menuju pesawat. Dari jalan ini terlihat bagaimana pesawat penerbangan kami, JT 398 adalah pesawat terbaru LION Air, yang katanya membelii 178 unit. “Ini adalah salah satu yang terbaru,” ujarku kepada Bapaku. Mereka terlihat bangga dan lebih tenang. “Maklum penerbangan pertama,” gumamku dalam hati.

Dua jam perjalanan kami, akhirnya sampai juga di Medan. Menunggu waktu barang 5-10 menit, kami belum melihat kak Ani. Baru setelah dicari2 muter2, mereka ketemu juga. He.. Maklum, g kenal dan g paham si.

“Kota Medannya yang mana ya,” tanyaku pada Kak Ani. Kak Ani ini adalah adiknya Papa cici alias calonku. Jadi kami panggilnya Kak Ani, sementara suaminya dipanggil om. Aku g tahu sih, tapi kalo di tempatku (jawa) kami penggil mereka ini dengan sebutan mbokde’, he.. Agak lucu ya, tp bgtlah.

Sampai disana kegiatan kami disibukkan untuk acara lamaran. Ntah seperti apa, acara lamaran ini bagiku terlihat asing. Bahagia, tapi sekaligus membuatku merana. Repot, karena aku tdak tahu seperti apa konsep juga adatnya. aduuuh, pusing pokoknya. kalo ditanya grogi, hmmm, g juga sih. hee…..

Komentar»

1. suci - Maret 30, 2008

wuih bi, cerpen abis ni…tapi banyak yang kepenggal-penggal say..misalnya, seperti cerita di terminal bus, atau juga saat di pesawat…

tapi boleh juga…asik kok, nanti adek tambahi dengan persiapan sebelum keberangkatannya ya…

hihi, biar teman2 yang mau lamaran ada ide sedikit…hehe

iya, awalnya ceritanya bagus, tapi kebelakangnya malah jadi banyak yang…….
hiii.. iar penasaran juga. haaa

2. iyra - April 1, 2008

seharusnya kak cici manggil ayah ninik dan manggil emak uci. tapi karena dari kecil diasuh ayah dan emak serta dia angkatan tertua kesannya kayak anak aja. bukan cucu. makanya dia manggil tantenya kakak tapi suami tantenya om..hehe…

papa itu anak sulung jadi dipanggil bang lung (istrinya kak lung) oleh adek-adeknya. oleh keponakan papa dipanggil Pak wo (bapak tuo). adik papa kedua dipanggil Kak Ngah (tengah) nah adik-adik papa seharusnya kita panggil om dan tante.

3. siboy - April 2, 2008

reportnya panggilan keluarga 🙂

4. SUSILAWATI - Juni 2, 2008

ADUH GITU AJA KOG REPOT NAK…
SORRY YA IKUTAN GUSDUR NIH


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: